Selasa, 23 September 2014

Kerokan Dalam Pandangan Medis

kerokan dalam tinjauan medis

Kerokan? Ah kampungan. Bikin iritasi kulit! Begitu kira-kira pendapat sebagian orang soal pengobatan tradisional dengan cara menekan dan menggeserkan benda tumpul di permukaan kulit ini. Maklum, tak hanya bekas goresan yang mengganggu kemulusan kulit, modal pengobatan ini memang jauh dari mentereng, cukup satu koin benggol produk zaman penjajahan dan minyak kelapa.

Selebihnya ketelatenan menekan dan menggeser koin tersebut di punggung, betis, leher. Meringis pun boleh, sendawa pun tak dilarang bahkan harus disyukuri sebagai rahmat atas terbuangnya angin dari tubuh. Karena caranya gampang tak heran pengobatan alternatif ini telah ratusan tahun kondang di negara-negara Asia. Masyarakat Vietnam menyebut pengobatan ini cao giodi, di Kamboja dijuluki goh kyol dan di China dikenal sebagai gua sua, dengan menggunakan batu jade sebagai alat pengeroknya.

Menurut Didik Tamtomo, dosen FK UNS yang menjadikan kerokan sebagai bahan penelitian gelar doktor di FK Unair, secara ilmiah, praktik pengobatan ini terbukti mampu mengobati gejala masuk angin atau sindroma dingin yang memiliki gejala nyeri otot (mialga). Pada kerokan, secara ilmu biologi molukuler terjadi suatu reaksi inflamasi atau radang dengan segala respon yang mengikutinya seperti perubahan diameter vaskuler (pembuluh darah), migrasi sel darah putih (leukosit) dan pengeluaran mediator inflamasi seperti IL-1 beta, Clq, C3, Beta endorfin dan PGE2.

“Nah, biang penyebab rasa nyeri adalah PGE2 karena menaikkan kepekaan nosiseptor yang disebut sentra sensitisasi. Sehingga jika kadar PGE2 bisa diturunkan maka nyeri tersebut akan berkurang,” ujar Didik.

Selain mediator inflmasi, pada kerokan juga terjadi rangsangan pada keratinosit dan endotel atau lapisan paling dalam pembuluh darah yang akan bereaksi dengan munculnya propiomelanokortin (POMC). POMC merupakan polipeptida yang kemudian akan dipecah dengan hasil akhir salah satunya adalah Beta endorfin.

Dalam penelitian yang dilakukan Didik, pasca kerokan didapatkan peningkatan IL-1 beta, Clq, dan Beta endorfin. Sementara kadar C3 dan PGE2 justru turun. Hasil ini menyebabkan berkurangnya nyeri otot, rasa segar, nyaman dan eforia.

Inflamasi yang ditimbulkan selain meredakan nyeri otot juga akan memicu reaksi kardiovaskuler. Tandanya adalah peningkatan temperatur tubuh secara ringan, antara 0,5-2oCelcius.

Tidak nyeri
Meski efektif dan murah meriah, golongan masyarakat tertentu dan dokter justru menentang cara pengobatan tradisional ini dengan alasan akan timbul nyeri dan kerusakan permukaan kulit.

Padahal secara secara teknis, kerokan yang dilakukan dengan benar tidak akan menyebabkan rasa sakit. Alat kerokan biasanya menggunakan uang logam, koin, atau alat bantu khusus kerokan. Alat-alat tersebut wajib tumpul supaya tidak melukai kulit. Lalu dibantu dengan minyak yang fungsinya selain menghangatkan juga untuk melicinkan proses kerokan, sehingga menghindari terjadinya kulit lecet. Timbulnya warna merah yang akibat inflamasi itu dapat dipakai sebagai petunjuk berat ringannya masuk angin. Semakin gelap goresan yang timbul berarti semakin berat masuk angin yang terjadi.

Para ahli akupunktur berpendapat bahwa saat terjadi pemijatan, sebaiknya alat kerok melewati titik akupunktur agar urat syaraf motorik terangsang, sehingga pada akhirnya memperlancar sirkulasi darah. Cara kerokan yang dianjurkan adalah tegak lurus sejajar dengan tulang belakang menyamping, lalu sejajar dengan arah bahu agar melewati titik chi. Satu hal yang patut diingat dan dilakukan bila Anda sudah kerokan sebaiknya tidak mandi karena pori-pori kulit dalam kondisi terbuka. Lebih baik seka dengan lap basah yang dicelupkan pada air hangat lalu diperas.

Tentu saja usai menjalankan pengobatan ini, Anda wajib beristirahat. Gaya hidup sehat pun wajib Anda perhatikan agar tidak mudah terserang masuk angin kembali.

Sumber : Antozz

Minggu, 14 September 2014

KENAPA DOKTER DI NEGARA BARAT PELIT MEMBERIKAN OBAT KEPADA ANAK YANG SAKIT (PENTING UNTUK ORANGTUA)

Bahaya Obat Untuk Anak

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku …tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.

“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection.” kata dokter tua itu.

“Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?” batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”

Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”

Aku mengangguk. “Ibuprofen syrup Dok,” jawabku.

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,”Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.”Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!” Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.

“Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!”

Suamiku menimpali, “Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?”
Aku menarik napas panjang. “Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?”

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.

“Just drink a lot,” katanya ringan.

Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.

“Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?” tanyaku tak puas.

“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.

Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
“Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,” kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,”Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq.”
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

“Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini.” Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.

“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”

Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.

“Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,” aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “enam kali,” jawabku asal.

“Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: “Batuk – pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 – 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 – 3 minggu selama bertahun-tahun.” Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya,” Lanjut artikel itu. “Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.”

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‘dipaksa’ tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‘pengobatan rasional’. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm… kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. “Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,” kataku pada suamiku.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum
Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=263895757016284&set=a.172674282805099.43033.100001875866018&type=1

Kamis, 11 September 2014

Keajaiban Habbatussauda

Habbatussauda

Habbatus sauda’ (nigella sativa) adalah tanaman yang memiliki banyak sekali manfaat untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan bahwa Habbatus sauda’ adalah obat bagi semua penyakit kecuali kematian. Disebutkan oleh Imam Al-Bukhari (hadits no. 5687), beliau meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, artinya:
“Sesungguhnya di dalam Habbatus sauda’ terkandung obat untuk segala penyakit, kecuali as-sam.” Aku bertanya, “Apakah as-sam itu?” Beliau menjawab, “Maut.”

Di dalam riwayat Muslim (no. 2215) disebutkan:
“Tidak ada satupun penyakit melainkan di dalam habbatus sauda’ terdapat kesembuhan baginya, kecuali kematian.”

Menurut sejarah tanaman herbal ini berasal dari Mediterania (terutama Mesir) dan sekarang telah tersebar ke banyak wilayah dunia seperti di jazirah Arab (Yaman, Saudi Arabia), Siria, Irak, sebagian Asia Tengah (India, Pakistan), negara-negara Laut Tengah (Yunani, Siprus) dan Amerika.

Pakar medis di masa kini telah banyak yang mengakui kehebatan khasiat Habbatus Sauda. Dr. Stanley Kopok (USA) berkata: ”Habbatus sauda’ memiliki peran sangat penting untuk mencegah tumor dan dalam jangka waktu lama memperkuat sistem kekebalan tubuh” Sementara Dr. Tajul Aris Yang (Malaysia) mengatakan bahwa Omega yang terkandung dalam Habbatus sauda’ lebih besar 10 kali lipat dari pada DHA dan EPA.Beberapa manfaat Habbatus sauda’ diantaranya:

1. Menguatkan sistem kekebalan (immunity)
Berdasarkan hasil penilitian, jinten hitam dapat meningkatkan jumlah sel T yang baik untuk meningkatkan sel-sel pembunuh alami. Keberhasilannya hingga 72% jika dibandingkan dengan plasebo (hanya 7%). Demikian Dr. Basil Ali dan rekannya dari College of Medicine, di Universitas King Faisal menerangkan dalam jurnal Pharmasetik Saudi.

2. Meningkatkan daya ingat dan konsentrasi
Dengan kandungan asam linoleat (Omega 6) dan asam linolenat (Omega 3), Habbatus sauda’ merupakan nutrisi bagi sel otak yang berguna untuk meningkatkan daya ingat dan kecerdasan.

3. Meningkatkan daya tahan hormon
Hormon adalah zat aktif yang dihasilkan oleh kelenjar endoktrin, yang masuk dalam peredaran darah. Dalam tubuh manusia terdapat berbagai jenis hormon, di antaranya hormon reproduksi yang berhubungan dengan gairah seksual. Salah satu kandungan Habbatus sauda’ adalah setrolyang berfungsi sebagai sintesa dan bioaktivitas hormon.

4. Menetralkan racun dalam tubuh
Habbatus sauda’ mengandung saponin yang dapat menetralkan dan membersihkan racun dalam tubuh.

5. Mengatasi gangguan tidur dan stress
Sapion yang terdapat pada Habbatus Sauda’ mempunyai fungsi seperti kortikosteroid yang dapat mempengaruhi karbohidrat, protein dan lemak serta mempengaruhi fungsi jantung, ginjal, otot tubuh, dan syaraf.

6. Anti Histamin
Histamin adalah sebuah zat yang dilepaskan oleh jaringan tubuh yang memberikan reaksi alergi seperti pada asma bronchial. Minyak yang dibuat dari Habbatus Sauda’ dapat mengisolasi dithymoquinone. Minyak ini sering disebut nigellone yang berasal dari Volatile Nigella. Pemberian minyak ini hasilnya positif terhadap penderita asma bronchial.

7. Memperbaiki saluran pencernaan dan anti bakteri
Habbatus sauda’ mengandung minyak atsiri dan minyak volatil yang telah diketahui manfaatnya untuk memperbaiki pencernaan. Secara tradisional minyak atsiri digunakan untuk obat diare.

8. Melancarkan air susu ibu
Koordinasi bagian lemak dan struktur hormon yang terdapat pada Habbatus Sauda’ dapat melancarkan air susu ibu.

9. Tambahan nutrisi ibu hamil
Pada masa pertumbuhan, anak memerlukan nutrisi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara keseluruhan. Kandungan Omega 3, Omega 6 dan Omega 9 yang terdapat pada Habbatus Sauda’ merupakan nutrisi yang membantu perkembangan jaringan otak balita dan janin.

10. Meremajakan sel-sel kulit dan menunda proses penuaan
Habbatus sauda’ sangat baik untuk menjaga kelembaban, kehalusan, dan keremajaan kulit.

11. Nutrisi tambahan
Habbatus Sauda kaya dengan kandungan nutrisi sebagai tambahan tenaga, sangat cocok untuk orang lanjut usia, terutama untuk menjaga daya tahan tubuh dan relativitas sel otak agar tidak cepat pikun.
Habbatus sauda’ juga mengandung 15 jenis asam amino penyusun protein termasuk di dalamnya 9 asam amino esensial. Asam amino tidak dapat di produksi oleh tubuh dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus disuplai dari makanan.

Demikian beberapa manfaat Habbatus sauda’ yang berhasil dikaji dari berbagai penelitian, semuanya bermuara pada satu kesimpulan akan kebenaran sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bahwa di dalam Habbatus Sauda’ memang terdapat obat bagi segala penyakit kecuali kematian. Inilah keajaiban Habbatus sauda’ dibanding dengan obat-obatan lain.

Manfaat Propolis Dari Berbagai Penelitian

Manfaat Propolis Dari Berbagai Penelitian

Siapa tak merinding mendengar kata AIDS – menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi human immunodeficiency virus HIV yang memicu munculnya beragam penyakit? Menurut data World Health Organization (WHO), sekitar 2-juta penduduk dunia meninggal akibat AIDS sepanjang 2008. Jumlah itu mungkin turun jika para pengidap AIDS mengenal propolis.

Propolis memang belum dibuktikan secara klinis bisa mengatasi HIV. Namun, berdasar riset in vitro – di laboratorium – yang dilakukan para peneliti dari University of Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat, propolis berpotensi meningkatkan kekebalan tubuh para penderita HIV/AIDS. Tim peneliti menduga zat antiviral yang terkandung dalam propolis menghambat masuknya virus ke dalam CD4+ limfosit.

Propolis dosis 66,6 ?g/ml dalam kultur sel CD4+ – sel T dalam sistem kekebalan yang memiliki reseptor CD4 mampu menghambat ekspresi virus HIV maksimal 85%. Lazimnya pada penderita HIV/AIDS, virus mematikan itu menginfeksi sel bereseptor CD4 dan merusaknya. Makanya, jumlah sel ber-CD4 pada penderita HIV/AIDS turun jauh di bawah angka normal. Pada orang sehat, jumlahnya sekitar 500 – 1.500/mm3 darah.

Ampuh Lawan Penyakit Berat

Berdasarkan riset di luar maupun dalam negeri, propolis memang terbukti ampuh melawan beberapa penyakit berat. Dr dr Eko Budi Koendhori Mkes, dari Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), misalnya, membuktikan lem lebah itu membantu menekan kerusakan jaringan paru pada mencit yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis – bakteri penyebab penyakit tuberculosis (TBC).

Dari 100 mencit yang diinfeksi M. tuberculosis, tikus yang diberi kombinasi Isoniasid – obat antituberculosis – 25 mg/kg bobot badan dan propolis menunjukkan peningkatan kadar interferon γ . Interferon γ berperan mengaktifkan sel makrofag yang membunuh bakteri TBC. Mencit yang hanya diberi Isoniasid mengalami peningkatan kerusakan paru dari minggu ke-5 hingga ke-12. Sementara kondisi paru mencit yang diberi Isoniasid dan propolis dosis 800 mg pada minggu ke-12 sama seperti pada minggu ke-5.

Propolis berperan meningkatkan kekebalan penderita sehingga kerusakan jaringan dapat ditekan. Obat standar bekerja secara langsung menyerang bakteri TBC. Nah, kombinasi obat dan propolis mematikan bakteri TBC sekaligus mengurangi kerusakan paru-paru akibat serangan bakteri. ‘Propolis sangat bagus untuk meningkatkan sistem imun. Selain itu saya duga memiliki kemampuan antikanker,’ tutur Eko.

Propolis Hambat Sel Kanker

Dugaan Eko tidak meleset. Berdasar riset yang dilakukan di laboratorium Pengujian dan Penelitian Terpadu (LPT) UGM, produk propolis yang diteliti dapat menghambat sel kanker HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), serta T47D dan MCF7 (sel kanker payudara) dengan nilai IC50 berkisar 20 – 41 µg/ml. Artinya, propolis dosis 20 – 41 µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur.

Itu sejalan dengan penelitian dr Woro Pratiwi MKes SpPD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Propolis yang diberikan selama 1 bulan memiliki efek antikanker dalam organisme hidup. Itu ditunjukkan dengan menurunnya jumlah nodul atau tonjolan tumor dan menurunnya aktivitas proliferasi – penggandaan – sel tumor kelenjar payudara pada mencit. Namun, efeknya masih lebih rendah dibanding pada mencit yang diberi obat kanker standar, doksorubisin. ‘Sehingga, perlu dikaji penggunaan propolis dengan obat antikanker terstandar untuk memberikan efek terapi optimal dan efek samping minimal,’ ujar Woro.

Polifenol dan flavonoid, sebagian senyawa yang terkandung dalam propolis, kemungkinan berperan menghambat proliferasi sel kanker. Menurut Dr Edy Meiyanto dari Fakultas Farmasi UGM, flavonoid biasanya mempunyai struktur khas yang mampu menghambat protein kinase yang digunakan untuk proliferasi sel. Jika protein kinase ini dihambat, proses fisiologi sel pun terhambat sehingga sel melakukan apoptosis alias membuat program bunuh diri.

‘Senyawa golongan flavonoid dan polifenol yang ada dalam propolis juga memiliki efek antioksidan dan antitrombositopenia,’ kata Prof Dr Mustofa MKes Apt dari Bagian Farmakologi & Toksikologi FK UGM. Penelitian tim FK UGM menunjukkan sediaan propolis yang diuji mampu mencegah penurunan trombosit pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei – salah satu parasit penyebab malaria pada mamalia selain manusia. Dosis optimal 5 ml/kg bobot badan juga mampu meningkatkan jumlah eritrosit hingga 37% setelah 8 hari pemberian.

Terbukti Aman

Khasiat lain propolis yang sudah dibuktikan lewat riset yaitu efek antimikrobanya. Uji yang dilakukan Eko pada 2007 menunjukkan propolis mampu membunuh 26 isolat bakteriStaphylococcus aureus penyebab infeksi pada kulit dan saluran pernapasan serta Escherichia coli penginfeksi saluran pencernaan. Propolis dosis 10% dan 20% mampu membunuh seluruh sampel kedua jenis bakteri.

Penelitian serupa oleh Dr Jessie Pamudji di Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung membuktikan efek antibakteri propolis terhadap S. aureus dan Propionibacterium acnes – biang jerawat. ‘Itu karena propolis mengandung senyawa yang bersifat antimikroba yaitu flavon pinocembrin, flavonol galangin, dan asam kafeat,’ ujar Jessie.

Yang terpenting, riset membuktikan propolis aman meski dikonsumsi dalam jangka panjang. Menurut Dra Mulyati Sarto, MSi dari LPT UGM, toksisitas propolis sangat rendah. ‘Mencit yang diberi propolis tiap hari selama 1 bulan dengan dosis normal, fungsi dan kondisi organ tubuhnya tetap bagus, tidak bermasalah,’ ujarnya.

Dosis normal yang dimaksud setara 1 sendok makan propolis dilarutkan dalam 50 ml air untuk konsumsi manusia. Propolis baru menyebabkan kematian separuh jumlah hewan uji pada dosis di atas 10.000 mg/kg bobot badan. Jika dikonversikan ke orang berbobot 60 kg, dosis itu setara konsumsi 0,6 kg propolis setiap hari. Artinya, keampuhan dan keamanan propolis telah terbukti.

Sumber : Trubus-online.co.id

Senin, 08 September 2014

Pegagan Untuk Obat Flek Paru-Paru

Manfaat Pegagan Untuk Flek Paru-Paru


Ternyata pegagan berkhasiat sebagai obat tradisional flekparu-paru. Siapa sangka tanaman yang banyak ditemui di tanah kosong, kebun  dan persawahan ini  ini ternyata kaya manfaat dan banyak faedahnya. Pantas di daerah sunda, tanaman ini sering dijadikan lalapan teman makan sehari-hari. Mari simak kisah berikut ini.

Di usia 4 tahun Hilal Ahmar harus merasakan terapi obat medis jangka panjang. Namun Ekal, sang ayah, tak tega anak balitanya harus menjalani pengobatan intensif itu. Atas saran seorang kawan,  si kecil di beri  minum ekstrak pegagan/tapak kuda. Sebulan kemudian, paru-paru Hilal kecil akhirnya tuntas bersih dari flek paru-paru.

Siapa tak sedih melihat perkembangan si kecil yang tak normal? Si kecil yang semula lincah, lucu, dan aktif bermain, kini tak lagi ceria. Hilal yang semula ceria bahkan makin malas makan. Ia lebih banyak diam, menyendiri, dan enggan bermain dengan teman sebayanya. Akibatnya, badan yang semula sekel dan mungil, kian berkurang bobotnya.

Curiga ada yang tak beres,  ia membawa si kecil ke RS  Khusus Paru-paru, Pasar Rebo, JakartaTimur. Pemeriksaan medis di rumah sakit tersebut menyatakan, ada flek di paru-paru Hilal. Itulah yang membuat kondisi  fisiknya menurun. “Jika tak ditangani serius, ia bisa mengidap TBC kronis,” ungkap Ekal menirukan dokter. Saat itu juga Hilal diberi suntikan dan disarankan menjalani pengobatan intensif selama 6 bulan.
Mendengar saran dokter yang notabene kakaknya sendiri, Ekal langsung kalut. Disatu sisi ia ingin penyakit anaknya sembuh.  Di sisi lain ia khawatir ada efek samping  jika mengkonsumsi  obat medis dalam waktu lama. Apa lagi Hilal masih balita.

Menghadapi dilema iitu, ia menyampaikan uneg-uneg kepada seorang kawan, pemilik salah satu studio rekaman di bilangann lebak bulus. Kebetulan sang pengusaha punya pengalaman, pamanya yang sakit paru-paru sembuh berkat  pegagan.
Menurut kawannya itu, pegagan juga berkhasiat sebagai obat tradisional flek paru-paru. Ekal di sarankan mencobanya. “Ia yang mencarikan tanamannya di kawasan Pondok Cabe,” kenang Ekal. Sekarung pelastik berisi pegagan  yang di terima langsung ditumbuk dan diperas untuk diambil ekstraknya. Ekstrak inilah yang di minumkan ke si kecil.

Mungkin karena ingin sembuh, Hilal kecil pun tak menolak minuman yang diberikan.  Malah saking doyannya, segelas air perasan dapat dihabiskan dalam sekejap. Pasalnya, “Air perasan hampir tak ada rasanya. Tak beda dengan air putih,” jelas Ekal. Sajak itu konsumsi obat medis di hentikan. Sebaliknya, ekstrak pegagan rutin di minum 3 kali sehari satu gelas. Pagi hari sebelum sarapan, siang hari setelah makan, dan malam hari sebelum tidur.

Sebulan mengkonsumsi, mulai tampak perubahan. Hilal mulai ceria, lincah, dan aktif bermin. Nafsu makan bertambah, sehingga tubuh mulai padat berisi. Untuk memastikan perkembangan kesehatannya, ia pun di rontgen. Hasilnya, “Saya sendiri kurang percaya,. Ini benar nggak sih?” cerita Ekal penuh tanda tanya. Pasalnya, foto rontgen terbaru menunjukan, tak ada lagi flek di paru-paru Hilal. Sang kakak, dokter yang menangani  pun heran melihat perkembangan kesehata Hilal yang cepat.
Konsumsi  ekstrak pegagan masih terus dilanjutkan hingga 3 bulan berikutnya sampai penyakit Hilal benar-benar sembuh. Kini, pada usia 15 tahun, ia jarang mengeluh sakit.

Ekal membuat ramuan pegagan  dengan cara mengambil  tanaman segar termasuk akar, lalu dicuci bersih, ditumbuk atau diblender. Setelah halus, tambahkan sedikit air matang lalu diperas dan di saring. Air perasan kemudian didiamkan sekitar 5 menit sampai  ampasnya mengendap. Setelah itu baru air perasan diminum tanpa ampas. Ekal menggunakan pegagan dengan patokan sebagai berikut;

Sejumlah 200 gram tanaman ditambah 1 gelas air cukup untuk membuat ramuan sekali minum. Jika tak ingin repot, dapat dibuat ramuan dalam jumlah banyak. Air perasan dimasukan ke dalam botol, lalu disimpan dalam kulkas. Namun, stok ramuan sebaiknya 1-2 liter saja untuk  2-3 hari konsumsi. Sebab, “Jika disimpan lama, khawatir khasiatnya berkurang,”

Pengalaman dengan minum pegagan pada anaknya itu lalu ia tularkan kepada tetangga, teman, dan sanak keluarga. “Khusus yang mengidap penyakit paru-paru dan batuk kronis, saya sarankan minum ramuan pegagan ini,” di halaman rumahnya ia menanam pegagan sebagai contoh untuk diberikan kepada yang memerlukan.

Dari artikel di atas, penulis berkesimpulan untuk membuat ramuannya memakai resep sebagai berikut:

Resep obat tradisional flek paru-paru
Bahan :
Pegagan ...................... 200 gram
Air matang ................... 1 gelas

Cara meramu:
Tanaman pegagan segar termasuk akar dicuci bersih, lalu ditumbuk atau diblender. Setelah halus, tambahkan 1 gelas air matang lalu diperas dan di saring. Air perasan kemudian didiamkan sekitar 5 menit sampai  ampasnya mengendap. Setelah itu baru air perasan diminum tanpa ampas.

Aturan minum:
Minum perasan pegagan, 3 kali sehari, masing-masing 1 gelas. Minum pagi hari sebelum sarapan, siang hari setelah makan dan malam hari sebelum tidur.
Ramuan bisa dibuat banyak sekaligus, namun stok  hanya 2-3 hari konsumsi dan disimpan di kulkas.

Sumber :TRUBUS 381/Agustus/2001/XXXII

Minggu, 07 September 2014

[Ebook Gratis] Sehat dan Mabrur Saat Ibadah Haji dan Umroh


Alhamdulillah, Tim Kesehatan Muslim kembali menerbitkan E-book Gratis dengan judul “Sehat Dan Mabrur Saat Haji Dan Umrah”.

Manfaat haji sebagaimana disebutkan dalam ayat,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَمُْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَِيمَةِ الَْنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang 2 Sehat Dan Mabrur Saat Haji Dan Umrah yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 28).

Walaupun besarnya keutamaan dan manfaat, masih banyak yang tidak mau memperhatikan modal ilmu dalam berhaji. Yang dipikirkan yang penting punya finansial dan fisik yang kuat. Itu saja dalam benaknya. Padahal dengan ilmulah yang dapat menuntun pada penerimaan ibadah. Tentu kita tidak mau pengorbanan yang begitu besar dengan uang puluhan juta rupiah, hanya mendapatkan rasa capek saja, tidak mendapatkan pahala. (Sumber)




[HEBOH] Pengakuan Produsen Susu Formula


Jadi inget, dulu pernah bikin riset tentang susu formula merek X, buatan Eropa di pertengahan tahun 2008. Interviewnya sama dokter-dokter anak di Indonesia, pas banget ketika saya sedang hamil.

Ketika saya ikut serta dalam riset ini, saya belum kebayang sama sekali bakal kasih ASI sampai 22bulan, dan kasih homemade food ke Alika; anak saya, dan gak memberikan susu formula sama sekali. Boro-boro kebayang pumping ASI dan bawa-bawa pompa dan segambreng peralatan perang ASI lainnya, wong dulu tuh mikirnya pasti soal “merek susu apa ya yg bagus?” atau nanya ke orang-orang: “Merek susu apa ya yang bagus?”.

Sampai suatu hari Saya dapat kesempatan untuk bantu di project riset tentang susu formula merek ini. Fyi: ini adalah salah satu merek susu buatan Eropa yang terkenal di Indonesia.

Dan sebelum fieldwork dimulai, saya seperti biasa melakukan brainstorming meeting bersama orang brand (Orang Swiss) dan orang R&D yg menjadi salah satu peracik formula susunya (Dokter asal New Zealand).

Dari hasil brainstorming meeting ternyata diketahui bahwa alasan mereka membuat study pemasaran di Indonesia karena pangsa pasar susu formula di Indonesia itu sangat besar, termasuk dalam 5 besar di dunia. Sementara, di Eropa sendiri para produsen susu formula sangat susah buat jualan produk susu formula, karena pemerintahnya sangat galak dan sangat ketat dalam mengatur penjualan susu formula.

Hal ini berbeda dengan pemerintah Indonesia yang belum galak dan masih “Pro” Susu formula. Belum lagi ditambah dengan adanya stigma dari orang Eropa mengenai susu formula yang dianggap “rubbish product” – karena terlalu banyaknya process dalam pembuatannya: dari cair ke bubuk dan terlalu banyak bahan kimia yang dibutuhkan dalam proses pengubahan bentuknya dan terlalu banyak fortifikasi yang artinya terlalu banyak bahan kimia di dalamnya.

Makanya produk X ini mau meningkatkan penjualannya di Indonesia, karena memang lebih mudah dan lebih gampang

Ketika Saya mendengar cerita itu di meeting itu, Saya sebenarnya sudah agak shock dengan keterangan mereka, karena pemahaman saya mengenai susu formula “yang sangat sehat” ternyata salah.

Namun memang, meski sudah mendengar penjelasan orang Brand dan R&D tersebut, penjelasan tersebut masih belum begitu bisa membuat hati saya tergerak untuk memberikan ASI pada calon Bayi Saya. Saya bahkan masih terpikir untuk tetap kasih formula…. Mungkin campur laah 50% ASI : 50% formula. Kan saya kerja..?? *alesan*

Setelah selesai brainstorming meeting, saya iseng bertanya pada orang R&D yang meracik susu formula merek ini, karena beliau adalah Ibu dari 1 anak, dan anaknya berusia 3thn. Tujuannya seperti biasa, karena saya ingin cari referensi mengenai merek susu formula, soalnya dia kan dokter dan R&D susu formula. Jadi pastinya referensinya OK

Jadi langsung saja Saya tanya ke beliau, “Kalau Anda dulu kasih susu formula merek apa?” (dengan keyakinan, pasti dia akan bilang merek yang dia racik).

Ternyata saya mendengar jawaban diluar harapan saya, karena dia bilang:”Saya tidak kasih susu formula sama sekali” *Saya bengong*.

Lalu saya tanya lagi: “Terus dikasih apa? Susu UHT?”

Dijawab sama beliau: “Tidak, saya baru kasih UHT ketika umur 2 tahun” *dan saya makin bingung dan shock*

Saya tanya lagi: “Terus dari 0 – 2 tahun anak Anda dikasih apa?”

Dia jawab sambil tersenyum: “Saya kasih ASI, karena susu formula itu nutrisinya itu tidak sebanding dengan ASI.”

Agak shock denger jawaban dari si ibu R&d itu. Apalagi pas denger dia bilang lagi: “Saya menyusui sampai anak saya umur 24 bln, setelah itu langsung saya kasih UHT. No formula at all!” *Dan saya pun menganga*

Saya tanya lagi” seriously?”

Dia jawab lagi: “Yup. Very serious”. Dan semua orang mendorong saya untuk memberikan ASI. Jadi masa menyusui Saya menjadi lebih mudah”

Tetapi tetep aja… Meski sudah denger pengakuan si R&D itu… Saya masih agak tidak percaya dengan pengakuan dia, sampai pada akhirnya saya menginterview 5 dokter anak di Indonesia: 3 yang Pro ASI, dan 2 Yang Tidak Pro ASI.

Hasilnya? Semua dokter anak yg diinterview itu mengakui hal yang sama: ASI is the best dan paling cocok dengan metabolisme bayi. Dan susu formula cuma bisa diserap 0leh sekian persen oleh tubuh bayi.

Bahkan 2 dari 3 dokter yg pro ASI kasih urutan gimana nutrisi diserap bayi dari bayi masih dalam kandungan sampai dia 2 thn:

ketika bayi di kandungan: bayi akan menyerap semua nutrisi dari sari makanan (bukan susu ya) yang dikonsumsi ibunya. Dan nutrisi yang dibutuhkan oleh si Bayi ketika dalam kandungan itu cuma sedikit, tidak perlu jumlah yang banyak, karena si janin itu kan juga ukurannya masih sangat kecil jika dibandingkan kebutuhan manusia biasa.

Jadi even Susu hamil juga tidak perlu, karena kebutuhan kalsium/folat/AA/DHA/Kolin itu bisa didapat dari makanan yang dikonsumsi oleh si Ibu. Jadi, asal Ibu makan makanan yang sehat (sayur, ikan, telur, daging, buah) secukupnya, pasti kebutuhan nutrisi sang janin dan sang Ibu akan terpenuhi.

Dan dokter kandungan biasanya sudah kasih vitamin dan supplement yang menunjang nutrisi sang janin. Jadi minum susu hamil sebenarnya malah bisa membuat Ibu obesitas karena kelebihan kalori (bukan nutrisi).

Ketika bayi umur 0-6bln: Bayi cuma bisa menyerap ASI, karena ASI sangat sesuai dengan pencernaan bayi yang masih sangat rentan dan sangat sensitif, karena kandungan ASI yang sangat spesifik. Dan AA, DHA, AA, dsb yang di dalam ASI-lah yang cuma bisa diserap sempurna oleh otak Bayi . Sementara kandungan dalam susu formula secara umum cuma bisa diserap bayi 5-10% kalau tidak salah (lupa euy, udah lama banget soalnya risetnya) CMIIW.

Ketika bayi usia 6-12bln: Bayi menyerap 70%ASI, dan 30% nya adalah sari makanan.

Oleh karena dari itu, buat Ibu-ibu yang anak-anaknya usia 6-12bulan, sebenarnya di masa ini tidak perlu terlalu khawatir kalau anaknya ketika di usia ini masih susah makan, karena di masa ini sebenarnya adalah masa untuk mulai mengajarkan anak dan mengenalkan anak makanan padat, bukan untuk memenuhi kebutuhan total nutrisi harian anak. Sementara susu formula? Cuma bisa diserap sekitar 15-20% (CMIIW).

Ketika bayi usia 12 – 18bln: Bayi bisa menyerap ASI 50% dan sari makanan 50%

Ketika bayi usia 18-24bln:Bayi menyerap ASI sebesar 30% dan sari makanan 70%, dan disini peran ASI lebih pada daya tahan/body immunity, karena di usia ini bayi sangat rentan terkena virus/bakteri karena sudah mulai lebih banyak memakan makanan padat dan mulai mengalami fase oral alias mulai memasukkan semua barang ke mulut

Dan AA, DHA, Kolin, Prebiotik yang dibutuhkan Bayi di rentang usia ini hanya bisa diserap sempurna 100% kalau sumbernya dari sari makanan yang dimakan oleh bayi dan dari ASI (dari sari makanan yang dikonsumsi Ibu yang menyusui).

Sementara ketika anak berusia 2thn ke atas, sebenarnya susu formula sudah tidak bisa diserap lagi karena memang sudah tidak ada perannya dalam pertumbuhan anak, sementara ASI msh bisa diserap untuk kepentingan daya tahan tubuh/body immunity.

Oleh karena itu, bayi yang mengkonsumsi susu formula biasanya akan sangat jauh lebih gemuk, karena memang kandungannya tidak terpakai dan tidak terserap dengan sempurna, sehingga berubah bentuk jadi lemak, sementara ASI terserap sempurna oleh tiap elemen dalam tubuh bayi, terutama oleh otak si Bayi

Oleh karena itu juga, menurut pengakuan 2 dokter yang tidak Pro ASI, mereka biasanya kalau menyarankan susu formula pasti selalu dengan alasan: “Biar anak Ibu lebih gemuk/tidak kekurangan berat badan” (itu pengakuan para dokter itu loh.. )

Dan… DHA, AA, Kolin, Spengomiolyn yang ada di susu formula sampai sekarang belum diketahui manfaatnya..atau bahkan efek sampingnya!! (Dan menurut orang brand dan orang R&D brand X ini, WHO juga sudah menyatakan hal yang sama soal ini).

Kenapa dikatakan belum ketahuan manfaat dan efek sampingnya? Karena bayi-bayi yang mengkonsumsi susu dengan kandungan AA, DHA, Kolin, dsb ini rata2 lahir dari tahun 2000 ke atas, tahun-tahun di mana kandungan-kandungan ini mulai diperkenalkan oleh para produsen susu formula.

Dan bayi-bayi yang mengkonsumsi AA, DHA, LA dsb yang ada dalam susu formula ini BELUM ADA yang menjadi ibu, sehingga belum tahu efek jangka panjang dan efek domino yang dihasilkan oleh kandungan-kandungan itu.

Dan pengakuan yang paling menakutkan buat saya sebenarnya adalah ketika orang brand dan R&D dari brand susu formula X ini menceritakan kalau semua kandungan itu tidak ada yang pernah diuji cobakan ke bayi manusia sebelumnya!!! (Scary huh?!!)

Akhirnya, sejak saya tahu info-info soal itu, mata saya jadi terbuka sangat-sangat lebar…. Dan sejak saat itu juga saya langsung mengubah niat saya untuk kasih ASIX, karena Saya pikir “Yang membuat racikan susu formula saja kasih ASI, masa Saya engga?”

Demikian sharing pengalaman Saya. Mohon maaf ya kalau ada yang tidak berkenan atau salah-salah info. Maklum, risetnya dibuat thn 2008 pertengahan

Sumber : Kaskus

Diberdayakan oleh Blogger.